18 Tahun Jadi Honorer, Guru Ini Bangun 10 Sekolah Gratis di Kaki Gunung Argopuro

Nur Fadli, guru SMPN 1 Sukorambi pernah menjadi guru honorer selama 18 tahun.

Pada tahun 2018 lalu, dia diangkat menjadi guru dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).

Nur Fadli bukan guru biasa, sebab dia mendirikan sepuluh sekolah bagi anak-anak tidak mampu di daerah pelosok sejak 2004 lalu.

Sekolah itu di Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Patrang, dan Kecamatan Sukorambi, daerah yang berada di kaki pegunungan Argopuro.

Baca juga: Puluhan Lukisan Tentang Covid-19 Karya 30 Seniman Jatim Dipamerkan di Jember

Di kawasan tersebut, banyak orangtua anak-anak yang bekerja sebagai buruh tani, kuli bangunan hingga merantau ke Bali dan luar negeri.

“Saya prihatin melihat banyak anak-anak yang putus sekolah saat itu,” kata dia, kepada Kompas.com, saat ditemui di rumahnya, di Dusun Manggis, Desa Sukorambi, Jumat (28/8/2020).

Pria kelahiran 11 Desember 1980 itu tak ingin diam melihat anak-anak yang tidak sekolah.

Dia berkaca pada dirinya sendiri yang pernah mengalami kesulitan untuk sekolah, harus mencari biaya sendiri hingga menjadi pemulung.

Saat lulus dari Universitas Islam Jember, Nur Fadli menjadi guru di daerah sekitar rumahnya pada tahun 2000 silam.

Pengalaman menjadi guru membuat hatinya terenyuh melihat rendahnya tingkat pendidikan anak-anak desa. Bahkan, banyak yang langsung menikah di usia dini.

“Mereka tidak sekolah karena terkendala biaya,” ujar dia.

Selain itu, untuk pergi ke sekolah, jaraknya cukup jauh.

Akhirnya, Nur Fadli mencoba merintis lembaga pendidikan di daerah pelosok tersebut.

Dia merintis sekolah dasar di Bintoro tahun 2004 lalu. Awalnya, sekolah tersebut merupakan madrasah diniyah.

“Anak-anaknya tidak sekolah, tapi belajar di madrasah diniyah,” tutur dia.

Mereka tidak sekolah karena SD cukup jauh, yakni sekitar empat kilometer.

Mereka harus melewati kawasan perkebunan untuk sampai di sekolah dengan jalan kaki. Akhirnya banyak yang memilih tidak sekolah.

“Saya ajak tokoh masyarakat untuk bangun SD,” tambah dia.

Awalnya tak mudah, karena banyak penolakan dari warga sekitar. Sebab, warga khawatir dengan biaya pendidikan.

Berbeda dengan madrasah diniyah yang digelar secara gratis.

Pelan tapi pasti, Nur Fadli mampu meyakinkan para wali murid. Akhirnya, sekolah dibangun dan membantu proses hingga menjadi SDN Bintoro V sampai sekarang.

“Sudah banyak yang lulus dan kuliah sampai sekarang,” tutur dia.

Tak hanya itu, Nur Fadli juga merintis lembaga MTs Asy syukriah 2004 Bintoro. Alasannya sama, karena banyak anak-anak yang tidak sekolah.

Proses pendirian lembaga tersebut dilakukan secara swadaya.

“Butuh tiga tahun meyakinkan warga sekitar, apalagi saya orang baru,” terang dia.

Selain itu, dia terus mengembangkan pendirian sekolah baru di daerah pinggiran yang tidak terjangkau lembaga pendidikan.

Yakni mendirikan MI terpadu Arrohman di Sukorambi pada 2007. Awalnya, sekolah ini hanya terbuat dari gubuk sederhana dari kerajinan kayu.

Namun, semangat gotong royong wali murid mampu mewujudkan gedung sekolah.

Setelah itu, dia mendirikan MTs Miftahul ulum Desa Kemiri Panti 2013 dan MA Miftahul Ulum tahun 2014. MTs tersebut berawal dari sejumlah anak-anak yang belajar di masjid.

Nur Fadli terus berupaya agar sekolah bisa dibangun sehingga anak-anak belajar dengan nyaman.

“Setelah itu, dirikan juga PAUD hingga RA, hingga total sepuluh sekolah,” tutur dia.

Semua pendidikan di lembaga tersebut tersebut digelar secara gratis. Awalnya, guru dibayar dengan gaji dari hasil usaha ternak kambing milik Nur Fadli dan dibantu teman-temannya.

“Kalau sekolah di pinggiran bayar, tidak akan ada yang sekolah,” ucap ayah tiga anak tersebut.

Nur Fadli mengajak wali murid bekerja sama beternak kambing miliknya. Selain untuk kebutuhan rumah tangga, hasilnya juga disumbangkan bagi pembangunan sekolah.

“Sampai sekarang ada sekitar 200 kambing dikelola wali murid,” ujar dia.

Ingin para muridnya jadi pemimpin masa depan

Mendirikan lembaga pendidikan di daerah pinggiran menjadi tantangan tersendiri bagi Nur Fadli.

Selain menjadi kepala sekolah, dia juga mengajar di sekolah tersebut. Dia harus melewati jalan berbatu untuk mengajar di sekolah yang didirikan.

Setiap harinya, dia menggunakan sepeda motor untuk menuju lokasi. Apabila musim hujan, jalan menjadi becek sehingga kerap terjatuh.

Namun, hal itu tidak menggoyahkan semangat Nur Fadli untuk mengajar di daerah pinggiran.

“Pelajarnya waktu itu baru semua, pembelajaran dibuat menyenangkan,” tutur dia.

Ia membuat pelajar bisa baca tulis dengan cara yang tidak membosankan. Selain belajar di dalam kelas, juga diajak belajar di luar kelas.

Seperti di sawah hingga sungai hingga kebun.

Nur Fadli kembali mengajak para pelajar untuk terus merawat nilai-nilai keindonesiaan.

Di sekolah, dia mengajarkan anak-anak agar bersikap bergotong-royong, toleran dan, kreatif dan memiliki semangat kemandirian.

“Saya ingin anak-anak bisa menjadi pemimpin masa depan walau mereka lahir di daerah pinggiran,” tutur dia.

Dia ingin menegaskan bahwa tinggal di daerah pinggiran bukan alasan untuk tidak meraih kesuksesan.

Sekarang, Nur Fadli sudah tidak lagi mengajar di lembaga yang dirintisnya. Namun pindah ke SMPN 1 Sukorambi karena sudah berstatus P3K 2018 lalu.

Namun, sekolah yang dirintisnya terus berjalan, bahkan sudah ada beberapa muridnya yang juga mengajar di sana.

“Saya tetap melihat sekolah-sekolah, manajemen sudah berjalan,” tutur dia.

Perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Argopuro begitu nyata.

Orangtua begitu peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Bahkan, minimal lulus SMA.

Sumber Kompas.com

Related posts