Azam Berkisah tentang Sepatu Hitam Bergaris Putih

Berbagisemangat.com – Pada suatu ketika seorang anak kecil menemui kepala sekolahnya disebuah sekolah yang berlabel agama. Anak tersebut diperkirakan berusia 15 tahun; kelas XIII. Beliau menemui gurunya karena ketika ingin memasuki kelas dilarang oleh guru kelas karena mengenakan sepatu hitam yang ada les putihnya.

“Kamu telah melanggar peraturan sekolah yaitu menggunakan seragam yang tidak sesuai dengan aturan sekolah”, kata guru tersebut.

Disebabkan oleh sebab itulah maka ia menghadap kepala sekolah dengan harapan untuk dapat kebijaksanaan darinya agar bisa mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

Sesampai di ruang kepala sekolah, anak tersebut menceritakan kejadian yang dialaminya dengan terbata-bata. Kepala sekolah dengan seksama mendengar cerita si anak, yang selanjutnya, setelah selesai cerita si anak, menyampaikan sikapnya. Bahwa peraturan yang diberlakukan sudah disepakati oleh para pihak dan demi kedisiplinan serta ketertiban kegiatan belajar-mengajar peraturan harus tetap dilaksanakan. “Kamu baru bisa mengikuti kegiatan di sekolah ini kalau sudah mengganti sepatumu dengan sepatu yang berwarna hitam polos”, katanya.

Mendengar kebijakan dari kepala sekolah, wajah si anak tersebut sontak berubah murung dan bola matanya berkaca-kaca, menahan tangis. Pupus sudah harapannya untuk mendapatkan kebijakan dari kepala sekolah. Dengan wajah tertunduk ia melangkah keluar dari ruang kepala sekolah.

Kemudian si anak meninggalkan lokasi sekolah, melangkah tanpa mengetahui mau kemana. Dan akhirnya ia berhenti pada pelataran perkantoran yang tidak jauh dari lokasi sekolahnya.

Disanalah ia bertemu dengan Azam yang kebetulan sedang ada urusan di kantor tersebut.

Azam yang baru keluar dari gedung kantor, pada saat itu, terkejut melihat seorang anak kecil terduduk lesu dengan linangan air mata. Hingga Azam tergerak untuk menegur si anak dan bertanya kepadanya apa yang terjadi?. Dan diceritakanlah olehnya seperti uraian di atas.

Si anak itu menyampaikan juga kepada Azam bahwa ia tidak berani pulang ke rumah, bukan karena takut dimarahi oleh orang tuanya tapi……

Anak itu tak bisa melanjutkan kata-kata karena nafasnya sesak menahan kesedihan. Azam membiarkannya sejenak untuk menenangkan diri. Setelah agak tenang, ia melanjutkan ceritanya. “Orang tua saya mendapatkan sepatu tersebut dengan cara menyisihkan penghasilannya sedikit demi sedikit hingga terkumpulah uangnya dalam waktu enam bulan,” lanjut Si Anak.

Anak itu juga menceritakan bahwa orangtuanya hanya berpendidikan lulusan SR (Sekolah Rakyat; sekolah zaman dulu setingkat Sekolah Dasar). Bapaknya adalah buruh tani sementara ibunya menjadi pembantu rumah tangga. Ironisnya, si Ibu, bekerja di rumah kepala sekolah si Anak.

Oleh karena itulah maka si Anak tak berani menceritakan kejadian yang dialaminya kepada orang tuanya; betapa susahnya untuk mendapatkan sepatu tapi ternyata ditolak karena (dianggap) tak sesuai dengan peraturan sekolah. Ia tak tega menyampaikan karena sudah terbayang wajah orang tuanya yang akan terlihat sedih.

Inilah kisah Azam hari ini. Ia menemukan secara empiris bahwa peraturan yang ada tidak otomatis membuat kehidupan lebih substantif dan manusiawi. Dan untuk menyikapi peraturan yang sedemikian semestinya kebijaksanaan menjadi solusi, tapi… ternyata, tak semua pengambil kebijakan mampu berlaku bijaksana.

Related posts