Istanti Fatkhul Janah, Pemburu Naskah Kuno yang Bolak-balik di 3 Kota

Berbagisemangat.com – Naskah kuno tak boleh diperlakukan sembarangan. Di tangan Istanti Fatkhul Janah, 35, sebuah naskah yang didapatkannya dari pelosok desa di Ponorogo itu diperlakukan seperti bayi. Dia terlebih dahulu bersarung tangan sebelum membolak-balik naskah yang kertasnya mulai usang.

”Saya naik-turun gunung menemukan naskah ini,” katanya.

Dibutuhkan waktu seharian untuk sekadar membaca sekilas isi naskah tersebut. Tulisan Jawa kuno yang mulai pudar itu berisi mantra dan berbagai tanda dalam kehidupan.

Belum diketahui siapa pengarangnya dan kapan naskah itu ditulis. Dilihat dari fisiknya, naskah tersebut dimungkinkan sudah berusia ratusan tahun. ”Untuk bisa membaca itu pun, saya harus bisa membujuk si empunya,” ujar Tanti, sapaannya.

Pada zaman yang serbateknologi ini, jarang ada perempuan yang getol mempelajari naskah kuno. Tapi, tidak dengan Tanti. Kegemarannya berkutat pada naskah kuno muncul sejak dia berkuliah dengan mengambil jurusan pendidikan bahasa dan sastra Jawa di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Untuk menyelesaikan tugas akhir, dia harus rela bolak-balik tiga kota: Surabaya-Surakarta-Ponorogo. Itu dilakukan untuk menyelesaikan kajian tentang Serat Wedha Tengara. “Jadi, untuk membaca naskah kuno itu, perlu tata cara dan etika tersendiri,” tuturnya.

Naskah Serat Wedha Tengara dipelajari Tanti di perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Kasunanan Surakarta. Naskah tersebut ditulis dalam bahasa Jawa dengan bentuk gancaran (prosa) dan tembang.

Intisari naskah berisi tanda-tanda dalam kehidupan. Dalam istilah Jawa, hal itu lebih dikenal dengan weruh sakdurunge winarah. Karena itu, dia mengkaji naskah tersebut menggunakan teori semiotika.

”Harus translate naskah terlebih dahulu. Kalau bicara teknis penelitian, panjang sekali prosesnya,” ungkap bungsu tiga bersaudara pasangan Ismani-Titik Purwati itu.

Tidak hanya meneliti naskah kuno, Tanti juga mengkaji tradisi warisan leluhur. Dia pernah meneliti upacara tradisional tingkeban adat Jawa pada 2015.

Hasil penelitian itu sebenarnya ingin diterbitkan. Namun, lantaran beberapa hal, dia menunda membukukannya. Setahun kemudian, penelitian tentang Makna Filosofis Caképan (Lirik) dalam Iringan Reog Ponorogo pada Festival Reog Nasional (FRN) 2016 lolos di Kongres Bahasa Jawa.

Acara yang diselenggarakan di Jogjakarta itu dihadiri ratusan peneliti dari seluruh daerah di tanah air. ”Saya kirim dan ternyata lolos, lalu mendapat undangan hadir di acara itu,” terangnya.

Saat ini Tanti menyelesaikan tesis dengan objek penelitian Serat  Tepalupi karya R. Pujaharja. Naskah tersebut menceritakan pengembaraan Gus Banthung, tokoh utamanya.

Gus Banthung mendapatkan wejangan dari ayahnya bahwa dunia itu ada di sastra. Karena itu, Gus Banthung menuliskan dua surat di dalam naskah tersebut. Yaitu, Serat Sarawungan yang membahas aturan bersosial dan Serat Andrakusuma yang menyampaikan tujuh syarat orang bahagia.

Related posts