Kisah Inspiratif Fotografer Asal Manado Yang Tempuh Jarak 1.100 Km Dengan Motor Untuk Abadikan Gempa Palu

Berbagisemangat.com – Seorang fotografer inspiratif asal Manado mengabadikan bencana gempa Palu dan beberapa wilayah di Sulawesi Tengah (Sulteng). Fotografer tersebut menempuh jarak 1.100 kilometer dari Kota Manado menuju ke Palu dan wilayah Sulteng yang terkena dampak gempa Palu dan tsunami.

Kisah inspiratif fotografer asal Manado yang menempuh jarak 1.100 Km dengan motor tersebut tampak mengabadikan kondisi bencana gempa Palu, Sulteng.

Seperti yang diketahui, gempa dan tsunami yang melanda sebagian wilayah provinsi Sulteng menyisakan duka mendalam. Tak hanya bagi Indonesia, tetapi juga menjadi perhatian masyarakat internasional.

Hal ini tampak dari adanya sebuah lembaga internasional yang mencari fotografer yang sigap untuk mengabadikan kondisi bencana Sulteng dengan cepat.

Tugas dari lembaga internasional tersebutlah yang diambil oleh pria dengan nama Ronny Adolof Buol. Ronny Adolof Buol membagikan kisah yang dialaminya saat mengerjakan tugas tersebut dalam akun facebooknya, Ronny Buol (10/10/2018).

Kisah inspiratif fotografer asal Manado tempuh jarak 1100 km dengan motor ke Sulteng

Ronny tampak menuliskan ceritanya pada sebuah foto. Ronny menceritakan bahwa dirinya tengah menjalani penugasan di Sulteng oleh sebuah lembaga internasional.

Dalam tugasnya sebagai fotografer, Ronny diharuskan untuk segera tiba di lokasi bencana dan bisa menjalankan tarket yang tinggi. Untuk pekerjaan yang tak mudah itu, ia mendapatkan bayaran yang sangat fantastis yaitu 800 USD atau Rp 12.160.000,- perharinya.

Ia juga menerangkan bahwa tugas yang dijalaninya berlangsung selama seminggu, yang berarti total pendapatannya adalah Rp 85.120.000,- Ronny mengaku bahwa upah tersebut dirasa berlebihan untuknya.

Saya dibayar cukup tinggi untuk sebuah penugasan di Sulteng oleh sebuah lembaga international. Bagi mereka itu harga yang pantas untuk person yang bisa tiba dengan segera di lokasi bencana dan bisa melakukan tugas-tugas dengan target yang tinggi. Tapi bagi saya, upah itu berlebihan untuk diri saya. Beberapa hari lalu saya sudah tuntas menyelesaikan seluruh list pekerjaan yang mereka minta dan mereka membayarnya. (800 USD per day selama seminggu),”, tulisnya.

Ronny juga mengatakan bahwa kondisi yang ia temui sering membuatnya menahan untuk tidak menangis. Apalagi, Ronny juga harus menahan merekam kondisi anak-anak di pengungsian untuk dokumentasi UNICEF selama tiga hari.

“Saya dibayar cukup tinggi untuk sebuah penugasan di Sulteng oleh sebuah lembaga international. Bagi mereka itu harga yang pantas untuk person yang bisa tiba dengan segera di lokasi bencana dan bisa melakukan tugas-tugas dengan target yang tinggi. Tapi bagi saya, upah itu berlebihan untuk diri saya. Beberapa hari lalu saya sudah tuntas menyelesaikan seluruh list pekerjaan yang mereka minta dan mereka membayarnya. (800 USD per day selama seminggu),”, tulisnya.

Ronny juga mengatakan bahwa kondisi yang ia temui sering membuatnya menahan untuk tidak menangis. Baca Juga : Kisah Inspiratif Polisi yang Rawat Lebih dari 100 Anak Yatim, Dapat Apresiasi dari Kapolri. Apalagi, Ronny juga harus menahan merekam kondisi anak-anak di pengungsian untuk dokumentasi UNICEF selama tiga hari.

“Selama bertugas saya seringkali menahan emosi agar air mata tak keluar menyaksikan kondisi korban gempa, tsunami, likuifaksi di Palu, Donggala dan Sigi. Terlebih 3 hari terakhir saya harus menyelesaikan penugasan khusus merekam kondisi anak-anak di pengungsian untuk dokumentasi UNICEF,” lanjutnya

Ronny juga menceritakan kondisi relawan lain yang ada di sana, seperti paramedis yang bersedia tidak dibayar.

“Secara pribadi saya merasa tidak adil jika mengambil semua upah itu, sementara banyak relawan lainnya yang datang hanya dengan modal tenaga, paramedis yang bersedia tidak dibayar dan petugas-petugas lainnya yang datang tanpa pamrih,” terangnya.

Melihat kondisi yang terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala, Ronny merasa iba dan tidak menerima keseluruhan dari upah yang didapatnya. Bahkan, Ronny hanya mengambil sedikit upahnya, dan memberikan sisanya untuk didonasikan kepada korban bencana Sulteng. Ronny menyebutkan bahwa ia turut membantu pada para jurnalis Palu yang juga menjadi korban.

“Oleh karena itu dari jumlah bayaran yang saya terima, saya hanya mengambil “ekornya” saja dan lebihnya saya donasikan untuk mereka yang membutuhkan. Semalam saya mampir di Sekretariat AJI PALU, menyisihkan sebagian untuk teman-teman jurnalis yang tergabung di AJI PALU. Mereka semua selamat tapi belum bisa beraktifitas normal karena rumah mereka ada yang hancur, keluarga mereka juga ada yang jadi korban,” tambahnya.

Selain itu, Ronny juga memberikan sebagian lagi kepada para relawan dan anak-anak yang masih tinggal di tenda darurat. Donasi lainnya saya bagikan ke para relawan yang masih tinggal di Palu, dan kepada anak-anak yang bertahan di tenda-tenda darurat. Itu tidak seberapa dengan beban hidup yang harus mereka jalani kedepan.

Kisah inspiratif dan pantang menyerah juga tampak dari perjuangan Ronny menempuh 1.100 km perjalanan darat dengan motor dari Manado ke Sulteng. Bahkan, saat membagi kisah inspiratifnya tersebut, Ronny tampak masih berada di tengah perjalanan pulang ke Manado setelah bertugas.

“Saat ini saya sudah berada di Kasimbar, dalam perjalanan pulang ke Manado. 1100KM perjalan darat dengan motor kembali akan saya lalui. Palu, memberikan banyak sekali pelajaran dan pengalaman hidup. Semoga semua warga Palu, Donggala dan Sigi terus diberi kekuatan oleh Yang Maha Kasih melewati sisa hidup ini,”

Pada akhir kisahnya, Ronny juga memberikan semangat untuk Palu, Sigi, dan Donggala agar bisa kembali bangkit.

“PASIGALA (Palu, Sigi, Donggala) harus bangkit,” pungkasnya.

Semoga semakin banyak orang-orang baik dan menginspiuratif seperti Ronny Buol.

Related posts