Kisah Pengidap TBC Tulang Mendidik Ratusan Penghafal Alquran Di Malang

Berbagisemangat.com – Aan Yuhaniz, perempuan 35 tahun ini mengalami ujian berat. Ia terpaksa menjalani hidup di atas kursi roda karena mengidap Tuberculosis tulang (TBC tulang).

Namun, Yuhaniz yang tinggal di Desa Brongkal Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang ini punya misi mulia. Ia konsisten melahirkan hafidz maupun hafidzah atau penghafal Alquran.

Kisah Yuhaniz bermula ketika menjalani 6 bulan pertama berumah tangga dengan Afif Ma’mun (39 tahun). Yuhaniz adalah jebolan UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sedangkan suaminya kuliah jurusan humaniora. Keduanya sama-sama penghafal Alquran.

Kala itu, mereka harus menerima kenyataan bahwa Yuhaniz didiagnosa terserang Tuberculosis tulang, sampai akhirnya lumpuh pada Januari 2010 silam.

“Kala itu, istri saya didiagnosa mengalami penyakit sehingga terpaksa mengalami kelumpuhan,” terang Afif Ma’mun di rumahnya yang sederhana kepada SURYAMALANG.COM, Sabtu (28/10/2018) malam.

Sejak divonis menderita TBC tulang, Yuhaniz harus menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Meski sudah menjalani berbagai pengobatan dan terapi, nyatanya tidak ada perkembangan yang signifikan.

“Istri saya dirujuk untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang,” tambahnya.

Bukti kecintaan Afif terhadap istrinya begitu nyata. Ia setia menemani istrinya berobat. Setahun berselang, tepatnya pada tahun 2011 lalu, tim medis menganjurkan untuk dioperasi. Tetapi anjuran tersebut ditolak oleh istri Afif.

“Saat itu saya ingat fisiknya melemah, jadi mentalnya terganggu sehingga tidak berani menjalani operasi,” tutur Afif yang dulu kuliah jurusan humaniora itu.

Afif juga pernah mencoba pengobatan alternatif namun tak membuahkan hasil. Kondisi istrinya justru memburuk. Afif pun menjadi tulang punggung sekaligus mengurusi urusan rumah tangga. Hari demi hari dilalui dengan suka cita. Afif tak terlalu mempermasalahkan, jika dia harus merawat istrinya yang sedang sakit dan hanya bisa berbaring di atas kasus tersebut.

“Selama ini istri saya terpaksa menghabiskan waktu di atas kursi roda dan ranjang, tapi tidak apa-apa,” katanya.

Dalam kondisi seperti itu, mereka justru saling menguatkan untuk mengembangkan pesantren khusus hafalan Alquran.

“Di rumah ini merupakan tempat tinggal saya dan istri serta pesantren bagi para santri, ada enam kelas, satu mushola, dan satu aula untuk para santri belajar hafalan Alquran,” terang Yuhanis.

Para santrinya berasal dari anak-anak sekitar kediaman Musta’in, orangtua Afif. Pada tahun 2014 lalu, pesantren ini mulai dikelola Yuhaniz dan suaminya. Namanya Pondok Pesantren Mamba’ul Karomah.

Yuhaniz mengaku, kegiatan pesantren merupakan sebuah panggilan baginya. Bahkan jika tidak mengajarkan agama kepada para santrinya, dia merasa ada yang hilang dalam kehidupannya.

“Sepulang sekolah, sebanyak 155 santri yang terdiri dari 72 santri pria dan 83 putri ini, mulai belajar agama di sini,” ungkap Yuhaniz.

Lazimnya, sekitrar pukul 13.00, santri cilik yang dibina Yuhaniz mulai berdatangan satu persatu. Kewajiban pertama yang harus dilakukan santri yakni setoran hafalan Alquran. Setelah itu berbagai kegiatan berlanjut mulai dari TPQ, kemudian diniyah, hingga terakhir mengaji kitab pada malam hari.

“Kegiatan di pesantren ini berakhir sekitar pukul 20.00 WIB, dan rutinitas ini berjalan setiap hari kecuali bagi mereka yang menghendaki libur diperkenankan untuk izin,” ulas Yuhaniz.

Related posts