Melihat Manuskrip Sunan Gunung Djati yang Beracun dari Cirebon

Berbagisemangat.com – Sunan Gunung Djati merupakan tokoh penyebar agama Islam yang sangat unik. Beliau selain dikenal sebagai seorang Wali,  juga merupakan pemimpin dan pendiri Kesultanan Cirebon. Semua kisahnya dimuat dalam bentuk manuskrip yang berusia ratusan tahun, dan salah satunya berada di Museum Situs Patilasan Panembahan Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.

Ada hal menarik dari manuskrip tersebut. Selain makna dari tiap bait aksaranya yang berharga, manuskrip ini juga tidak bisa disentuh secara sembarangan. Jika kita nekad melakukan itu, maka bersiaplah untuk mengalami muntah darah, atau bahkan kematian.

Hal itu pernah menimpa salah satu anggota keluarga R Hasan Ashari (53). Beliau sendiri merupakan pimpinan museum dan masih memiliki darah bangsawan dari Keraton Kasepuhan serta Kanoman.

Hasan menceritakan awal mula kejadian itu. Dulu mendiang Kakeknya secara tidak sengaja membuka peti yang berisi ratusan manuskrip. Ketika membukanya, si Kakek langsung mengalami muntah darah.

“Saat itu, mungkin karena faktor tidak tahu, Kakek saya asal buka saja peti itu dan seketika ia muntah darah,” ujar Hasan, saat di temui di Situs Patilasan Panembahan Pasarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon.

Sebelumnya banyak dari masyarakat awam menganggap, bahwa manuskrip itu memiliki kekuatan ghaib. Namun menurut Hasan, hal itu terjadi karena demi menjaga agar naskah itu bisa bertahan lama, para leluhurnya menaburkan semacam zat kimia dengan dosis tinggi pada setiap lembarannya.

“Setiap lembarnya naskah itu ditaburi semacam zat kimia, agar awet dan terhindar dari serangan serangga. Untuk sekarang sudah bisa disentuh langsung, namun tetap harus hati-hati agar tidak terkena reaksi dari zat itu,” sambungnya.

Manuskrip itu biasanya ditulis dengan aksara Kawi, Carakan, ataupun Arab Pegon. Jumlah manuskrip yang tersimpan di lokasi tersebut mencapai ratusan. Namun sayangnya, karena sebelumnya masyarakat tidak begitu paham, beberapa dari peninggalan sejarah itu nampak tidak terawat dengan baik. Ada yang hilang termakan rayap, ada juga yang terbakar.

Sebenarnya, banyak pelajaran yang bisa kita dapat dari manuskrip itu. Walaupun ada beberapa lembaga seperti Kementrian Agama, Perpustakaan Nasional, dan sebagainya datang berkunjung ke lokasi itu, namun belum ada yang serius untuk meneliti isi dari naskah kuno itu.

“Banyak dari lembaga-lembaga yang datang kesini, namun belum ada yang serius untuk menelitinya. Pihak kami bukannya tidak ada yang bisa menerjemahkan, tapi untuk mengorek makna dari naskah itu harus dilakukan secara tekun dan hati-hati,” katanya.

Lebih jauh lagi, selain keadaan beberapa manuskrip yang sobek, kondisi museum serta Situs Patilasanpun sangat ala kadarnya. Pemerintah Daerah sebenarnya sudah memperhatikan, namun belum total untuk membantu secara finansial.

” Sebenarnya ada bantuan dari Pemerintah, tapi jumlahnya terlalu kecil, saya juga bingung bantuan ini akan digunakan untuk apa, karena terlalu kecil,” ungkap Hasan.

Demi menjaga kelestariannya, ia bersama beberapa rekannya bergotong royong dan dengan uang pribadi, mendanai setiap biaya perawatan benda-benda pusaka, serta koleksi manuskrip di tempat itu.

Ke depannya ia berharap agar Pemerintah bisa lebih konsen lagi memperhatikan kondisi peninggalan itu. Karena hal ini tentunya akan memberi keuntungan tersendiri, seperti meningkatnya pendapatan daerah melalui wisata sejarahnya.

Related posts