Membangun Persaudaraan Muslim Indonesia Dan Australia Melalui AIMEP 2019

Berbagisemangat.com – Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki tantangan berbeda dari setiap aspek. Salah satunya dari aspek sosial dalam menghadapi keberagaman suku dan agama. Indonesia yang memiliki jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia, tentu memiliki peran strategis dalam perspektif kebijakan Islam.

Australia sebagai negara yang memiliki keragaman budaya dan agama juga menjadi tempat terbaik untuk memahami hal tersebut. Untuk itu, Australia-Indonesia Institute (AII) bekerjasama dengan Universitas Paramadina Jakarta mengadakan program tahunan Pertukaran Tokoh Muslim Muda antara Indonesia dan Australia.

Program ini berupa kunjungan selama dua pekan ke Australia, di mana para tokoh dan aktivis muda muslim dapat bertukar pikiran dan pengalaman soal kehidupan sosial, budaya, serta peranan agama di negara masing-masing.

Tahun ini, peserta program Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) berasal dari berbagai latar belakang dan daerah yang berbeda. Dari Indonesia diwakili Emil Radhiansyah, Feri Firmansyah, Irfan Sarhindi, Marini Sayuti dan Ni Putu Desinthya Ayu Azhari.

Emil Radhiansyah adalah dosen di salah satu universitas swasta di Indonesia. Feri Frimansyah aktif sebagai salah satu anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Surakarta, Jawa Tengah.

Irfan Sarhindi merupakan penulis, Marini Sayuti beprofesi sebagai jurnalis sekaligus presenter dan Dita adalah auditor di salah satu bank syariah di Indonesia.

Program Director AIMEP 2019, Rowan Gould mengatakan program ini telah memberikan dampak positif terhadap masing-masing komunitas muslim, baik di Australia maupun di Indonesia.

“Tentu saja program ini menjadi wadah bagi para tokoh muda Indonesia untuk saling bertukar pikiran dan pandangan terhadap keberagaman budaya dan agama serta tantangan-tantangan yang dihadapi di kedua Negara tersebut. Program ini sudah berjalan sejak 2002, dan antusiasme masyarakat Indonesia untuk mengikuti program ini terus meningkat,” katanya.

Sejak 31 Maret hingga 14 April 2019 mengikuti program tersebut, kelima peserta ini berkesempatan mengunjungi tiga kota besar di Australia.

Destinasi pertama yaitu Melbourne yang terletak di negara bagian Victoria sekaligus menjadi ibu kota Victoria. Di Melbourne, mereka diajak bertemu dengan Andrew Gardiner, salah seorang tetua yang biasa disapa Uncle Andrew dari suku Aborigin Wurundjeri di Flagstaff Garden.

Uncle Andrew menceritakan bagaimana suku Aborigin melakukan kontak pertama kali dengan para pedagang muslim dari Makassar, Sulawesi Selatan.

Kemudian peserta mengunjungi markas Western Buldogs, dan bertemu dengan Kashif Bouns selaku Manajer Umum Lembaga Komunitas Western Bulldogs. Melalui lembaga tersebut, Kashif dan anggotanya memanfaatkan olahraga, terutama popularitas AFL untuk menyelenggarakan program di berbagai bidang, termasuk kesehatan dan kesejahteraan, serta program inklusi komunitas dan sosial.

Rowan juga menambahkan bahwa kesempatan bertemu dengan berbagai komunitas di Australia menjadi wadah untuk menyampaikan perspektif dan diskusi tanya-jawab yang intensif.

“Selama pertemuan dengan komunitas muslim dan juga interfaith community di Australia, para peserta sangat antusias memberikan pertanyaan-pertanyaan terkait isu yang sedang berkembang. Program ini memfasilitasi mereka yang memiliki visi dan misi untuk memberikan perspektif yang lebih baik terhadap kedua negara,” kata Rowan.

Selain bertemu dengan sejumlah komunitas dan lembaga keagamaan di Australia, mereka juga berkunjung ke sejumlah sekolah dan berdiskusi tentang system pendidikan disana. Salah satu sekolah yang dikunjungi adalah sekolah swasta Kristen, Balcombe Grammar.

Para peserta diajak mengelilingi sekolah dan bertemu langsung dengan siswa dan kepala sekolah disana. Menurut Irfan, sekolah ini sangat berbeda dengan sekolah yang ada di Indonesia.

“Mereka dapat memilih mata pelajaran yang mereka sukai, dan nilai pribadi atau kualitas pribadi pada diri siswa sangat diutamakan. Jadi para siswa memiliki rasa humanity, toleransi yang tinggi, dan dapat menempatkan diri dalam pergaulan yang sangat multicultural.” ujar lulusan University College London tersebut.

Berbeda dengan Dita, peserta yang berasal dari Bogor, Jawa Barat ini mengungkapkan perbedaan pelaksanaan lembaga keuangan berbasis syariah di Australia dan Indonesia.

“Di Indonesia masyarakat masih belum paham perbedaan lembaga keuangan konvesial dan berbasis syariah, sementara masyarakat di Asutralia sudah familiar dan sistem yang lebih mengutamakan transparansi terhadap lembaga keuangan tersebut,” katanya.

Dua pekan yang cukup padat bagi para peserta, namun cukup untuk memahami dan “mencuri” ilmu dari Negara Kanguru.

Diharapkan, setelah mengikuti program AIMEP ini para peserta dapat meningkatkan saling pengertian, kerjasama, dan toleransi antara Australia dan Indoneisa, membangun persaudaraan antara masyarakat Muslim di Australia dan Indonesia, serta meningkatkan kesadaran tentang kemajemukan dan dialog antar agama di Australia dan Indonesia.

Related posts