Santri Itu Serba Bisa, Termasuk Bermain Sepak Bola Api

Berbagisemanngat,com – Sepakbola memang menjadi salah satu olahraga favorit, tidak hanya di Tanah Air, tetapi juga hampir seluruh dunia. Setidaknya gegap gempita itu dapat terlihat tiap kali gelaran Piala Dunia berlangsung.

Selain dimainkan secara profesional, olahraga yang menggabungkan skill dan taktik untuk bisa mengantar bola ke dalam gawang lawan itu juga kerap dimainkan sekedar untuk mengisi waktu atau bersenang-senang saja.

Hal yang sama juga dilakukan oleh para santri dari Pesantren Lirboyo Kota Kediri, Jawa Timur, Kamis (19/10/2018) malam. Para santri itu bersenang-senang dengan bermain sepak bola. Namun, ini bukan sepak bola biasa, tetapi bola api. Para santri itu memainkannya di lapangan kawasan Aula Muktamar yang ada di halaman depan dari salah satu pesantren besar di Indonesia itu.

Di lapangan besar itu, mereka membuat lapangan khusus seukuran lapangan bola basket sebagai medan sepak bola apinya. Para pemainnya terbagi dalam dua grup yang masing-masing grup terdiri dari 6 orang. Meski ada dua grup, cukup susah membedakannya karena keduanya sama-sama mengenakan kostum merah, berupa kaos merah dan celana panjang yang juga merah.

Kostum merah itu sendiri merupakan seragam kebanggaan mereka sebagai santri sekaligus anggota kesenian silat Gasmi bela diri asli Pesantren Lirboyo. Yang membedakan antar grup adalah sarung yang dipakai mirip selempang dan juga mirip sabuk. Tak ada rasa sakit Mereka nampak trengginas dan penuh antusias mengulik si kulit bundar berapi itu dalam durasi 15 X 2 menit dengan jeda 1 menit.

Mereka menggiring, menendang, bahkan memegang bola api itu bagi penjaga gawangnya. Tidak nampak raut muka kesakitan padahal berinteraksi dengan api yang berkobar. Bahkan, bola yang dipakai juga bukan bola biasa melainkan buah kelapa yang sudah dibuang kuit halus bagian luarnya. Buah kelapa ini kemudian direndam dalam minyak tanah lalu dibakar api dan siap dipakai sepakbola.

Meski bola dari buah kelapa itu keras, para pemain sepakbola itu juga tidak mengenakan alas kaki selama pertandingan berlangsung. Mereka hanya bertelanjang kaki untuk menggiring, menghalau bola, hingga menendangnya. Nur Huda (19), salah seorang pemain sepakbola api itu, mengaku tidak merasakan sakit atau luka sedikit pun akibat memainkan sepakbola ekstrem itu.

Itu menurut dia karena latihan rutin dan juga keyakinan diri yang telah terbentuk.

“Selain itu juga restu dari para kiai yang membuat kami yakin,” ujarnya saat ditemui seusai permainan.

Maulana Zam-zam Shodiq (19), pemain lainnya, menunjukkan kaki-kaki yang menghitam usai bermain sepak bola api. Namun hitam tersebut bukan karena luka, tetapi kotoran dari sisa pembakaran.

“Saya sudah sering main dan alhamdulillah selama ini tidak pernah terluka,” ujar santri asal Bali yang sudah 6 tahun mondok di Pesantren Lirboyo ini.

Kalau pun ada yang luka, biasanya berupa lecet-lecet dan terkilir. Untuk mengatasi ini, mereka biasanya menggunakan obat tradisional seperti sirih dan kencur untuk mengobatinya.

Sepak bola api ini tentu menjadi hiburan tersendiri. Banyak penonton datang hingga memadati kawasan aula muktamar itu. Mereka tidak hanya para santri, juga warga masyarakat umum yang khusus hadir menontonnya.

“Kalau sepak bola umum sudah biasa, ini sepak bola api jadi pasti menarik,” ujar Rohmad, salah seorang penonton.

Santri itu serba bisa Permainan sepakbola api itu sendiri tidak dimainkan setiap hari. Hanya digelar saat ada even tertentu. Kebetulan, permainan mereka kali ini digelar untuk merayakan Hari Santri yang jatuh tiap tanggal 22 Oktober.

Pada momentum ini mereka menunjukkan bahwa santri tidak hanya soal mengaji atau hal keagamaan saja, tetapi juga perihal aktivitas atau kemampuan-kemampuan tambahan dalam mengarungi kehidupan sosial.

“Santri juga serba bisa,” ujar Agus Abdul Muid, perwakilan Pesantren Lirboyo.

Pada Hari Santri ini pula, momentum untuk menggairahkan semangat tanggung jawab santri terhadap tanah airnya, yaitu Indonesia. Momentum pengingat bahwa santri sebagai elemen bangsa turut andil untuk membela dan mempertahankan tanah air.

Semangat bela tanah air itu, lanjut Abu Bakar, sudah sejak lama dilakukan oleh para santri bahkan sebelum negara ini merdeka dalam upaya mengusir penjajah. Salah satunya adalah kiprah dari KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), yang memfatwakan cinta tanah air.

“Makanya kami buka kegiatan dengan menyanyikan Yalal Wathon untuk menggairahkan semangat bela Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar pengasuh pesantren Al-Islah Bandar Kidul sekaligus Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Kediri ini.

Menonton sepak bola api ini, lanjut dia, mengingatkan pada sebuah film, yakni Shaolin Soccer, yang menceritakan tim sepak bola yang menggunakan keahlian kungfu dalam pertandingan sepakbola itu.

Bedanya, di sini yang dipakai bola api. Namun, jangan pernah mencoba memainkan permainan panas ini karena para pemain bola profesional pun pasti tidak akan mau. Permainan ini hanya dilakukan oleh orang-orang terlatih dan di bawah pengawasan khusus saja.

Related posts