Berbagisemangat.com – Seorang perempuan tua mendorong gerobaknya di bawah terik matahari. Ia tak tampak lelah, bahkan senyum selalu tersungging di bibirnya. Ialah Samiati.
Usianya telah menginjak 73 tahun. Ia mengaku telah berjualan perkakas rumah tangga secara berkeliling sejak puluhan tahun.
Di gerobaknya ada beragam perkakas rumah tangga. Di antaranya wakul anyaman bambu, tempayah, sapu lidi, sapu lantai dari sabut kelapa hingga keset.
“Sudah lama saya jualan perabot dapur, sejak anak-anak masih kecil. Daripada di rumah ngapain. Setiap hari saya mending ke pasar bawa gerobak ini,” tutur Samiati sambil menunjuk gerobaknya di pasar Patihan Panggung, Magetan Jumat (20/4/2018).
Samiati menjadi tulang punggung keluarga sejak ditinggalkan suaminya. Sejak saat itu, setiap hari ia harus menempuh jarak hingga 20-an km dengan berjalan kaki untuk menjajakan dagangannya.
![]() Meski harus berjalan kaki puluhan kilo, Samiati justru merasa sehat. (Foto: Sugeng Harianto) |
“Kalau pasaran tanggal Jawa Pahing dan Wage saya ke pasar Karasan Kartoharjo. Kalau hari biasa di sini, mendorong gerobak ini. Lima puluh tahun jualan sejak ditinggal suami nikah lagi. Untuk besarkan dan sekolahkan anak,” kisahnya.
Pada awalnya ibu dua anak itu menggunakan delman untuk berangkat berjualan. Namun karena moda transportasi itu sudah punah dimakan zaman, ia pun berinisiatif membuat gerobak sendiri, tepatnya di tahun 1996.
“Saya dibuatkan gerobak anak saya ke tukang. Gerobak kayu seadanya,” kata Samiati yang berbincang dalam bahasa yang bercampur antara Jawa dan Indonesia.
Saat ditanya berapa penghasilan Samiati dari berjualan perkakas itu, ibu dua anak ini mengaku malu.
“Malu mas, gak tentu. Dapat Rp 150 (ribu) pernah, dapat Rp 50 ribu pernah. Bahkan pernah cuma dapat Rp 5 ribu,” tuturnya sambil membuka kantong kain tempat menaruh uang yang diselipkan di bajunya.
Tak berhenti hanya disitu. Suka duka Samiati berjualan tentu sudah dirasakan perempuan yang sempat mengenyam bangku SMP walaupun tidak tamat ini.
“Nate nggak payu mas (pernah tidak laku, red). Sampai di pasar kesiangan, akhirnya pulang lagi, ndak dapat uang,” kenang Samiati.
Hal ini karena Samiati tinggal bersama anak keduanya, Abdullah (45). Menurut Samiati, walaupun putra bungsunya itu juga berjualan, namun sering sakit-sakitan sehingga ia lebih sering di rumah sehingga Samiati harus menyiapkan makan untuknya.
Meski demikian, Samiati tak pernah berputus asa. Ia yakin ada saja rezeki untuknya, sebab tak jarang dagangannya dibeli di tengah perjalanan pulang.
“Alhamdulilah saat terlambat tiba di pasar, pulangnya ada yang beli. Walau cuma dapat Rp 5 ribu saja. Ya bersyukur sajalah,” akunya.
Kendati pahit, cerita Samiati pun mengalir seolah tak ada beban. Ia juga mengaku tak pernah merasakan lelah. Justru karena sering berjalan puluhan kilometer, Samiati merasa sehat.
“Kalau di rumah ndak jualan dan ndak mendorong gerobak kaki ini loh sakit linu jadi malah sehat buat jalan jauh,” ujarnya.
![]() Tak jarang dagangan Samiati tak laku karena ia kesiangan sampai di pasar. (Foto: Sugeng Harianto) |
Berkat ketekunan dan kesabaran Samiati, anak keduanya, Sugeng Prayitno kini telah hidup mapan sebagai anggota marinir TNI AL.
“Anak saya sudah 30 tahun jadi marinir. Alhamdulilah sudah mapan di Jakarta sana. Jarang pulang, biasanya lebaran pulang,” katanya bangga.
Sang putra beberapa kali melarangnya berjualan namun Samiati menolak. Selagi badan masih kuat, ia pantang meminta belas kasihan. Begitu prinsip Samiati.
“Anak saya melarang, gak oleh bakul (tidak boleh berjualan, red) tapi saya sendiri yang ndak mau merepotkan anak,” lanjutnya.
Salah satu pedagang pasar yang mengenal Samiati, Sulastri (53) pun mengakui kegigihan warga Jalan Raya Candi Kelurahan Mangge Kecamatan Barat, Magetan ini.
Apalagi Sulastri kerap melihat nenek itu terlambat sampai di pasar dan keadaan pasar sudah sepi.
“Sebenarnya ya kasihan mas, tapi kalau saya kasih buah atau sarapan ndak mau pasti dia ngasi uang. Tapi saya akui memang mbah Samiati orangnya semangat seperti Kartini, mendorong gerobak tiap hari,” ungkapnya.