Gigihnya Sri Mulyani: Arungi Sungai ke Sekolah Dan Kelas Yang Berhimpitan

Tak seperti sosok Sri Mulyani yang kita kenal sebagai menteri keuangan. Sri Mulyani berikut ini adalah satu dari puluhan siswa yang setiap harinya harus bertaruh nyawa.

Bagaimana tidak bertaruh nyawa, Sri Mulyani pergi ke sekolah dengan cara menyeberangi sungai deras hanya bermodalkan ban bekas. Belum berhenti sampai situ perjuangan Sri untuk menimba ilmu di sekolah.

Murid kelas III SDN 130 Inpres Gantarang, Desa Bonto Matinggi, Kecamatan Tompo Bulu ini juga harus berhimpitan di kelas yang melebihi kapasitas. Sebab, sekolah kekurangan jumlah kelas dan membuat mereka terpaksa digabung dengan kelas lainnya.

Ruangan kelasnya pun sangat sederhana. Hanya disekat tripleks lusuh.

Idealnya dalam satu kelas itu maksimal 28 orang. Namun, karena kondisi tersebut, kelas harus diisi 31 orang. Satu bangku yang seharusnya hanya dua murid saja kini terpaksa diduduki tiga murid. Tak ayal, mereka pun saling berhimpitan.

Sri Mulyani di dalam kelas yang berhimpitan.
Sri Mulyani di dalam kelas yang berhimpitan. Foto: Moehammad Bakrie/ detikcom

Saat belajar, fokus merekapun terpecah. Betapa tidak, suara guru mengajarkan mata pelajaran yang berbeda, saling bersahutan terdengar oleh mereka. Belum lagi, jika terdengar suara teriakan murid lain yang menjawab pertanyaan gurunya. Sungguh sangat miris.

Kondisi ini, sungguhlah membuat Sri Mulyani dan teman-temannya terganggu. Namun apa daya, dia bukanlah menteri keuangan yang bisa dengan segera menggelontorkan dana membangun jembatan dan juga ruang kelas buat dirinya. Kabar baiknya, ia tak patah arang mengejar cita-cita menjadi seorang bidan.

“Saya mau jadi bidan, biar di kampung saya itu kalau ada melahirkan tidak usah jauh-jauh. Kami mau sekali dibangunkan ruang kelas baru, biar belajarnya tenang dan duduk nyaman,” kata Sri Mulyani kepada detikcom, Rabu (25/4/2018).

Derita Sri Mulyani tak sampai di situ. Jarak sekolahnya yang jauh memaksa ia bersama beberapa temannya juga harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer setiap hari. Karena mungkin sudah terbiasa, merekapun terlihat riang gembira menapaki jalan setapak yang membelah perkampungan.

Sampai di tepian sungai, Sri menunggu teman-teman lainnya untuk menyeberang. Dengan menggunakan ban bekas yang diatasnya diberikan papan, ia bersama murid perempuan menunggu antrean. Oleh siswa SMP, mereka menyeberang sungai di atas ban yang ditarik dua orang denga berenang.

Hal inilah yang membuat pihak sekolah terpaksa memberlakukan kebijakan khusus bagi mereka, termasuk jika mereka datang terlambat ke sekolah. Agar pelajaran mereka tak tertinggal, guru kelaspun memberikan bimbingan susulan.

“Kami memang memberikan kebijakan khusus bagi murid yang tinggal di seberang. Karena kami tahu persis kondisinya di sana. Kami pernah buka kelas jauh, tapi saat hujan, kami yang tidak bisa ke sana,” kata seorang guru, Manai.

Pihak sekolah sebenarnya sudah lama meminta penambahan kelas, mengingat jumlah siswanya sudah melebihi kapasitas. Namun, jangankan penambahan, untuk rehabilitasi dua kelas yang sudah mulai rusak, pun belum mendapatkan respon dari pihak terkait.

“Kita memang punya dana BOS, tapi kan peruntukannya bukan untuk itu. Kami sudah lama sampaikan penambahan kelas, tapi memang belum ada jawaban. Dua kelas lain juga sudah rusak, tapi belum direhab,” kata Kepala Sekolah, Subaeda Sawi.

Related posts