Dari Seorang Preman, Hartono Membangun Pondok Pesantren Tahfidz Quran Senilai 80 miliar. Sendirian!

Berbagisemangat.com – Senyum terus menghiasi wajah Hartono. Sepanjang hari itu. Cita-citanya untuk mendirikan sebuah pesantren tahfidz, lunas sudah.

Tidak hanya pesantren yang kecil dan sederhana. Tapi pesantren besar, modern, dan megah. Meski berada di tengah perkebunan.

Kompleks pesantren itu cukup jauh dari kampung. Berada di tengah sawah dan kebun. Di kaki Gunung Tangkuban Perahu. Di Kecamatan Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat.

Jaraknya sekitar 25 kilometer dari exit toll gate Jatiluhur. Kalau jalanan lancar, bisa ditempuh dua jam dari Jakarta.

Minhajul Haq, nama pesantren itu. Dibangun di atas lahan seluas 8 hektar. Separuhnya digunakan untuk fasilitas pendidikan dan pemondokkan.

Untuk santri putra di bawah. Santri putri di atas. Masing-masing terpisah. Punya ruang belajar sendiri-sendiri. Bertingkat lima. Pemondokan sendiri-sendiri. Juga berlantai lima. Masjidnya pun sendiri-sendiri.

Kisah perjuangan Hartono membangun pesantren itu seperti mimpi. Biaya pembangunannya menelan dana Rp80 miliar. Hebatnya, Hartono membiayai sendiri. Semuanya.

Bahkan sampai biaya operasionalnya. Hartono telah menyanggupi untuk menanggungnya. Sendiri. Tidak berharap bantuan atau santunan. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan sampai geleng-geleng. ”Biasanya saya disodori proposal bantuan pembangunan kalau diundang meresmikan lembaga pendidikan. Di sini ternyata tidak demikian. Luar biasa Pak Hartono,” kata Aher, panggilan akrabnya.

Tamu undangan bertepuk tangan. Hartono tersipu mendapat sanjungan. Luar biasa. Siapa Hartono? Meski semua orang memanggilnya ustadz, pria berperawakan tinggi besar itu sejatinya orang biasa.

Di pesantren itu, dia disebut sebagai pendiri sekaligus penyandang dana. Di bukit tertinggi, di belakang masjid santri putri, ada sebuah rumah megah. Halamannya penuh tanaman bonsai yang indah. Dengan tekstur batu-batuan alam berukuran besar. Di situlah Hartono tinggal. Bersama keluarganya.

Seusai peresmian pesantren, saya diundang singgah. Diajak makan nasi kebuli kambing muda. Racikannya mirip dengan masakan koki Restoran Sinbad. Rumah makan khas Yaman. Langganan saya di daerah Petamburan, Jakarta Pusat.

Hampir satu jam saya di rumahnya. Sambil ngobrol dan berselfie-ria. Dengan latar belakang sawah dan perkebunan teh di kaki Gunung Burangrang yang pendek. Dan Gunung Tangkuban Perahu yang menjulang.

Masa lalu Hartono sungguh penuh warna. Masa mudanya dihabiskan di dalam dunia yang keras. Orang mengenalnya: preman. Penguasa lahan parkir.

Hidupnya mulai berubah. Ketika berkenalan dengan bisnis limbah pabrik. Dia menjadi pemulung sekaligus mengolah limbah menjadi produk baru yang memiliki banyak nilai tambah.

Dari situlah kehidupan Hartono berubah 180 derajat. Dunia preman dia tinggalkan. Beralih profesi menjadi usahawan. Dan dermawan. Hingga akhirnya mampu mendirikan pondok pesantren tahfidz Quran yang besar, megah dan modern. Yang berbiaya miliaran.

Tahun ini, Pesantren Minhajul Haq mulai menerima santri baru sebanyak 200 orang. Putra dan putri. Sementara daya tampungnya lebih dari 1.000 orang. “Alhamdulillah,” kata Hartono, yang ternyata ramah itu. Meski memuji, Aher sempat berpesan kepada Hartono, agar tidak hanya berorientasi mencetak santri penghafal Quran. “Karena pertumbuhan pesantren hafidz begitu cepat, jumlah gurunya kurang,” kata Aher.

“Insya Allah. Siap melaksanakan,” jawab Hartono dengan antusias. Banyak orang yang lebih kaya daripada Hartono. Tapi belum tentu “seberani” Hartono dalam bersedekah. Terus terang: saya iri.

Related posts