Ditengah Kemajuan Teknologi, Slamet Masih Narik Ojek Memakai Sepeda Ontel

Berbagisemangat.com – Dalam satu surat ke putranya tahun 1930, Albert Einstein menyampaikan bahwa hidup itu layaknya naik sepeda, untuk menjaga keseimbangannya maka Anda harus terus melaju. Hidup pria tua di Jakarta Utara ini seolah menjadi satu tafsir atas kutipan Einstein itu.

Ojek sepeda bukan lagi moda transportasi umum yang gampang ditemui sekarang ini. Jumlahnya sudah semakin sedikit dan mayoritas pengemudinya sudah berusia diatas 40 tahun. Bahkan ada yang kini sudah menginjak usia 80 tahun. Slamet namanya.

Sosok penarik ojek sepeda yang sudah berusia senja itu ditemui detikcom di kawasan Jalan Gaya Motor II, Kelurahan Sungai Bambu, Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada Senin (7/1/2019) lalu.

Siang itu pangkalan ojek sepeda di sana sedang sepi. Hanya ada dua sepeda yang terparkir di sana. Memang pada jam-jam seperti itu tidak ada ojek sepeda yang beroperasi, kecuali bila sore sudah tiba, yakni saat jam pulang para pekerja pabrik. Itulah momentum penarik ojek mendapat rezeki.

Slamet sedang duduk santai tak jauh dari warung, tepatnya di dekat toilet umum. Ia baru saja mengurus sebuah karung yang berisi botol-botol plastik.

Di Usia 80 Tahun, Slamet Masih Narik Ojek Sepeda OntelSlamet, pria usia 80 tahun yang masih menarik ojek sepeda. (Adhi Indra Prasetya/detikcom)

Tampilannya cukup rapi untuk seorang penarik ojek sepeda. Dia mengenakan topi lebar pelindung diri dari sinar matahari. Dia memakai kaos berkerah yang longgar, celana abu-abu, serta sepatu kusam. Wajahnya yang keriput dan warna kulitnya yang terbakar matahari seperti menyiratkan bahwa ia sudah lama bergelut menjalani pekerjaan ini.

Butuh ketelitian dalam mendengarkan cerita Slamet. Di usia yang sudah 80 tahun, giginya sudah tak lagi lengkap. Intonasi berbicaranya sesekali cepat. Namun saat ucapannya tidak dimengerti, dia bersedia mengulangi kalimatnya.

“Saya ngojek mulai tahun 1966 ya, di daerah Tembok Bolong,” ujarnya. Sebelumnya, pria tua asal Jember ini bekerja mengantarkan buah dengan mobil bak dari Singaraja Bali ke Surabaya. Namun saat memutuskan hijrah ke Jakarta, pekerjaan sebagai ojek sepedalah yang dipilihnya

Pelanggannya adalah buruh-buruh yang akan pergi atau pulang bekerja di daerah sekitar sini. Mayoritas penumpangnya adalah buruh perempuan.

Saat ini, Slamet sudah tak banyak mendapat penumpang. Jika dulu dia bisa mendapatkan banyak, kini hanya dua penumpang per hari saja yang biasa didapatnya.

“Ngojek 2 kali sudah jago. Nggak kayak dulu. Dulu bisa 5 kali, 6 kali, 7 kali. Sekarang 2 kali. Kecil makanya. Sehari biasanya 2 kali,” ujarnya menjelaskan.

Minimnya penumpang yang didapat berimbas pada pemasukannya. Jarak tempuh yang tidak jauh membuatnya hanya bisa mendapat Rp 5 ribu sekali antar. Ia pun mencari pemasukan tambahan dengan mengumpulkan botol-botol plastik bekas untuk dijual kembali.

“Nanti dikasih uang, Rp 20 ribu, Rp 15 ribu. Dikumpulin uangnya, kalau sudah banyak, nanti dikirim (ke kampung),” ujarnya.

Pemasukan yang kurang dari Rp 50 ribu per harinya itu masih akan dikumpulkan olehnya, untuk dikirim kepada istrinya yang tinggal di Jember. Untungnya, di usia saat ini, anak-anak Slamet yang sekarang berjumlah tiga orang sudah hidup mandiri. Istrinya pun tinggal bersama anak bungsunya.

Meski demikian, bukan hal mudah bagi orang lanjut usia seperti Slamet untuk menjalani kerasnya hidup di Jakarta. Pemasukan yang tak besar membuatnya tak bisa memiliki tempat tinggal selama mengadu nasib di Jakarta.

Tempat duduk sederhana yang terbuat dari semen di dekat toilet umum ini, tempat saya berbincang dengannya, merupakan tempat Slamet tidur setiap malam. Rasa-rasanya, orang segagah apapun bisa masuk angin bila setiap malam tidur di sini. Bila pagi tiba, Slamet dibangunkan oleh penumpangnya sendiri.

Di Usia 80 Tahun, Slamet Masih Narik Ojek Sepeda OntelTempat inilah yang jadi tempat tidur Slamet. (Adhi Indra Prasetya/detikcom)

“Siapa yang bangunin saya, saya juga untung, penumpangnya untung juga. Biasanya yang ngebangunin saya yang mau ngojek,” ujarnya.

Kondisi hidup di Jakarta ini tak lantas membuatnya ingin pulang kampung untuk menikmati masa tua. Justru dia tak suka hidup di kampung lama-lama. Tak ada pemasukan untuknya di sana. Keahlian mengojek sepeda yang dimilikinya. Itu juga yang membuatnya tak bisa beralih profesi, terlebih dengan umur yang semakin menua.

“Pemasukan saya di sini, Pak. Di kampung apa? Mandiri gimana?” pungkasnya.

Related posts