Untuk Palestina: Solidaritas Kemanusiaan Melampaui Keyakinan

Berbagisemangat.com – Hari ini, jika Anda pergi ke Bandung dan berkeliling wilayah Masjid Raya Bandung, Anda masih akan menemukan spanduk-spanduk mencolok yang bunyinya berisi dukungan masyarakat Bandung bagi perjuangan rakyat Palestina.

Menjadi menarik ketika arus dukungan publik ‘Kota Kembang’ tidak berada pada momentum yang biasa memantik empati dan simpati dunia terkait isu Palestina. Misalnya pengeboman Jalur Gaza, eksekusi pemindahan kedubes Amerika ke Yerusalem, dan lainnya.

Artinya, publik Bandung–mungkin juga Indonesia secara keseluruhan–selalu bersama Palestina, tidak berhenti pada momentum politis semacam ini. Hati sebagian besar rakyat Tanah Air benar-benar bersama rakyat Palestina.

Sewaktu membicarakan Palestina, tidak bisa dimungkiri betapa identiknya topik itu dengan realitas bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Maka, amat susah dinafikan bahwa mengalirnya empati dan bantuan materi yang tidak ada habisnya dari rakyat Indonesia ke rakyat Palestina sangat identik dengan konsep ukhuwah atau persaudaraan sesama muslim.

Sewaktu berkesempatan datang ke Madinah beberapa waktu lalu, seorang jemaah dari Palestina secara yakin mendekati saya dan berbagi kisahnya. Saya bisa membaca kepercayaan diri itu. Keyakinan pada anak muda itu bahwa saya akan memperlakukannya dengan baik.

“Indonesia adalah bangsa yang selalu peduli dengan Palestina,” kata lelaki muda itu. ”Muslim Indonesia tidak pernah melupakan kami,” katanya lagi, dengan kelopak mata yang menelaga.

Cerita-cerita semacam ini sangat kerap Anda dengar atau bahkan Anda alami. Bahwa, jika ada sebuah ikatan yang membuat kita merasa begitu dekat dengan rakyat Palestina, penyebabnya adalah kesamaan agama.

Muslim di Palestina begitu menderita. Jiwa mereka terancam setiap hari. Kehidupan mereka diacak-acak setiap waktu. Hak hidup mereka dicerabut dari tempatnya. Mereka para pengikut Nabi yang memanggil-manggil saudara satu syahadatnya untuk peduli, mengulurkan tangan dan hati.

Saya teringat obrolan ringan tapi memanas antara saya dan seorang sahabat saya yang bukan muslim, sekitar 10 tahun lalu. Meski kami bahkan sudah begitu bebas membincangkan tema agama dan tidak pernah tersulut emosi karena perbedaan dalam menyembah Tuhan, ada satu topik yang memantik tensi perbincangan kami: Palestina.

Sahabat saya ini membela Israel. Tidak berempati kepada perjuangan rakyat Palestina. Bahkan, ketika saya tanya apa alasannya, dia tidak sanggup menguraikannya. Itu sungguh-sungguh aneh bagi saya. Mengakses sejarah ribuan tahun Palestina teramat mudah. Setidaknya dengan memahami sejarahnya, pikiran siapa saja akan lebih netral menyikapi sengketa itu.

Bahkan, dia membaca buku saya, Muhammad saw: Para Pengeja Hujan, yang mengisahkan bagaimana Umar bin Khattab membebaskan Palestina dan bagaimana khalifah kedua itu menjaga eksistensi penduduk Yahudi dan Nasrani di tanah mulia itu.

Kenalan saya yang lain seorang muslim tapi sejak lama membela Israel. Sebab orang Palestina itu suka membikin kacau, katanya. Lalu, setelah ia mendapat pencerahan Islam, sikapnya total berubah, menjadi sangat membenci Israel. Kecenderungannya malah kemudian tidak suka dengan kelompok mana pun yang dianggap anti-Islam.

Apa yang coba saya sampaikan kepada Anda, adalah betapa simpati atau antipati seseorang terhadap perjuangan rakyat Palestina begitu identik dengan agama dan seolah tidak ada ruang di luar itu, misalnya kemanusiaan.

Related posts